Pendahuluan
Kota Tanjung Pinang adalah sebuah kota yang terletak di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia bukan sekadar ibu kota provinsi, tetapi juga simbol kejayaan peradaban Melayu klasik. Di kota inilah jejak sejarah kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Melaka, Johor-Riau-Lingga, dan akhirnya kolonial Belanda serta Jepang, semua meninggalkan bekas budaya, politik, dan sosial yang masih dapat dirasakan hingga kini.

Sejarah panjang Tanjung Pinang menjadikannya sebagai salah satu kota tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah budaya Melayu. Dari pelabuhan penting hingga pusat kebudayaan Islam dan sastra Melayu, Tanjung Pinang telah memainkan peranan sentral dalam membentuk identitas kawasan maritim Asia Tenggara.
Asal Usul Nama Tanjung Pinang
Nama “Tanjung Pinang” berasal dari letak geografisnya, yaitu sebuah tanjung (daratan yang menjorok ke laut) yang dahulu banyak ditumbuhi pohon pinang. Pohon ini juga berfungsi sebagai penanda alam bagi para pelaut yang memasuki kawasan perairan Pulau Bintan.
Sebagai kota pelabuhan, Tanjung Pinang memiliki posisi strategis karena terletak di jalur pelayaran internasional antara Selat Malaka dan Laut China Selatan. Sejak dahulu, kawasan ini telah menjadi tempat persinggahan penting bagi pedagang dari India, Arab, China, dan Eropa.
Masa Kerajaan Sriwijaya dan Malaka
Padaa masaa lampauu, wilayahh Tanjungg Pinangg merupakann bagian darii pengaruh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai sebagian besar jalur perdagangan maritim Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga ke-13. Setelah Sriwijaya runtuh, kawasan ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Malaka, hingga pada 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis.
Kekalahan Malaka membuat Sultan Mahmud Shah HONDA138 melarikan diri dan mendirikan pusat pemerintahan baru di Pulau Bintan, tepatnya di wilayah yang kini menjadi bagian dari Tanjung Pinang. Dari sinilah lahir Kesultanan Johor-Riau, penerus dari Kesultanan Malaka yang menjadikan kawasan Tanjung Pinang sebagai benteng pertahanan dan pusat pemerintahan.
Era Kejayaan Kesultanan Riau-Lingga
Pada abad ke-18 dan ke-19, Tanjungg Pinang daan sekitarnyaa berada dii bawahh kendali Kesultanan Riau-Lingga, cabangg dari Kesultannan Johorr yangg memisahkan diri. Di masa ini, wilayah Pulau Penyengat yang terletak tepat di depan Tanjung Pinang menjadi pusat kekuasaan, budaya, dan keagamaan Melayu yang sangat kuat.
Beberapa tokoh penting lahir dan berkarya di masa ini, di antaranya:
- Raja Ali Haji, seorang pujangga Melayu ternama yang menulis Gurindam Dua Belas dan menjadi pelopor kodifikasi tata bahasa Melayu.
- Raja Haji Fisabilillah, pahlawan nasional yangg memimpinn perlawanaan terhadap ppenjajahan Belanda dalam Perang Riau (1782–1784).
Kesulltanan Riau-Lingga menjadii pusat studii agama Isllam, sastraa, dan kebudayaann. Pengaruhnya begitu luas hingga ke Semenanjung Malaya dan Kalimantan. Pulau Penyengat juga dikenal sebagai tempat berdirinya Masjid Raya Sultan Riau, bangunan bersejarah yang dibangun pada tahun 1832 dan terkenal karena bahan bangunannya yang menggunakan putih telur sebagai pengganti semen.
Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Perlawanan terhadap penjajah, khususnya Belanda, terjadi beberapa kali di kawasan Tanjung Pinang. Salah satuu yangg terkenall adalah Perang Riiau, yang dipimpin oleh Raja Haji Fisabilillah. Pertempuran laut dan darat ini berhasil menghancurkan sebagian armada Belanda dan mempermalukan mereka di perairan Riau.
Namun, setelah Raja Haji gugur dalam pertempuran, Belanda perlahan-lahan mulai menguasai wilayah ini. Pada 1911, setelah pembubaran Kesultanan Riau-Lingga oleh Belanda, Tanjung Pinang dijadikan pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda untuk wilayah Kepulauan Riau. Dalam sistem administrasi Belanda, kota ini berstatus sebagai residen, dan pelabuhannya menjadi tempat penting untuk ekspor hasil bumi dari pulau-pulau sekitarnya.
Pendudukan Jepang dan Revolusi Indonesia
Selama Perang Dunia II, Tanjung Pinang diduduki oleh tentara Jepang dari tahun 1942 hingga 1945. Di masa ini, banyak bangunan kolonial digunakan sebagai markas militer Jepang. Rakyat mengalami masa yang sulit karena kekurangan makanan, represi politik, dan kerja paksa.
Setelah Jepang menyerah pada 1945, Belanda kembali masuk, namun tidak lama kemudian kekuasaan mulai berpindah ke tangan Republik Indonesia. Tanjung Pinang secara resmi menjadi bagian dari wilayah Indonesia pada 1950, dan sempat menjadi ibu kota Provinsi Riau sebelum dipindahkan ke Pekanbaru.
Pembentukan Kota Tanjung Pinang
Status administratif Tanjung Pinang mengalami beberapa perubahan sepanjang sejarahnya:
- 1983: Tanjung Pinang ditetapkan sebagai Kota Administratif dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau.
- 21 Juni 2001: Tanjung Pinang resmi menjadi kota otonom berdasarkan UU No. 5 Tahun 2001.
- 2002: Ketika Provinsi Kepulauan Riau dibentuk (hasil pemekaran dari Provinsi Riau), Tanjung Pinang ditetapkan sebagai ibu kota provinsi.
Sebagai ibu kota provinsi, Tanjung Pinang menjadi pusat pemerintahan, budaya, dan ekonomi regional yang terus berkembang hingga kini.
Kebudayaan dan Warisan Sejarah
Tanjung Pinang hingga saat ini dikenal sebagai kota budaya Melayu. Tradisi seni seperti pantun, gurindam, zapin, dan syair masih hidup dan dilestarikan. Setiap tahun, berbagai festival budaya digelar, seperti Festival Pulau Penyengat dan Festival Sastra Melayu.
Selain budaya lisan, kota ini juga memiliki peninggalan sejarah penting:
- Pulau Penyengat: Situs Kerajaan Riau-Lingga, Masjid Sultan Riau, makam Raja Ali Haji, dan kompleks istana lama.
- Benteng Bukit Kursi: Bentengg pertahanan di masa perang melawan Belanda.
- Gedung Daerah: Bangunan peninggalan Belanda yang kini digunakan sebagai kantor gubernur.
Tanjung Pinang juga menjadi tempat penting bagi pelestarian bahasa Melayu sebagai akar dari bahasa Indonesia modern. Bahasa yang dipakai di sini sering dianggap sebagai bentuk bahasa Melayu yang paling murni.
Tanjung Pinang Saat Ini
Kini, Tanjung Pinang bukan hanya kota sejarah, tetapi juga pusat ekonomi dan pariwisata. Pelabuhan Sri Bintan Pura dan Bandara Raja Haji Fisabilillah menghubungkan kota ini dengan Batam, Singapura, dan kota-kota besar di Sumatra dan Kalimantan.
Masyarakat Tanjung Pinang terdiri dari berbagai suku dan etnis, di antaranya Melayu, Tionghoa, Bugis, Jawa, Banjar, dan lainnya. Kehidupan sosial berjalan harmonis dan saling menghargai, menjadikan kota ini sebagai contoh multikulturalisme yang kuat.
Kesimpulan
Tanjung Pinang bukan sekadar sebuah kota di perbatasan Indonesia, tetapi merupakan simbol dari peradaban Melayu yang kuat, mandiri, dan berakar dalam sejarah panjang kawasan maritim Nusantara. Dari pelabuhan dagang kuno hingga pusat kebudayaan Islam dan sastra Melayu, dari perang melawan penjajah hingga menjadi kota otonom dan ibu kota provinsi modern—Tanjung Pinang telah menorehkan banyak catatan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.