Busan: Dari Pelabuhan Kuno ke Kota Global Korea Selatan

Pendahuluan

Busan, kota terbesar kedua di Korea Selatan, dikenal sebagai pusat perdagangan, pariwisata, budaya, dan industri modern. Terletak di pesisir tenggara Semenanjung Korea, kota ini tumbuh pesat berkat posisinya yang strategis di tepi Laut Jepang (Laut Timur). Sejarah Busan mencerminkan perjalanan panjang bangsa Korea, dari masa kerajaan kuno, era kolonial, perang, hingga kebangkitan ekonomi modern.

Awal Perkembangan: Masa Kerajaan Kuno

Sejarah Busan dapat ditelusuri hingga ribuan tahun lalu. Pada masa Kerajaan Silla (57 SM – 935 M), wilayah Busan dikenal sebagai pelabuhan penting yang menghubungkan Semenanjung Korea dengan Jepang dan Tiongkok. Letaknya yang strategis menjadikannya gerbang perdagangan internasional, terutama untuk pertukaran barang, budaya, dan teknologi.

Pada masa itu, Busan lebih berupa pemukiman kecil nelayan dan pedagang. Nama “Busan” sendiri berasal dari kata “Bu” (gunung) dan “San” (kubu/gunung), merujuk pada Gunung Geumjeong yang menjulang di dekat kota.


Periode Goryeo dan Joseon: Kota Pelabuhan yang Berkembang

Pada masa Dinasti Goryeo (918–1392), Busan semakin berperan sebagai pelabuhan dagang. Hubungan diplomatik dengan Jepang sering dilakukan melalui pelabuhan ini. Sejak abad ke-15, Dinasti Joseon (1392–1897) menjadikan Busan sebagai pelabuhan resmi untuk perdagangan terbatas dengan Jepang.

Pelabuhan ini berfungsi sebagai titik diplomasi dan pertukaran budaya, meskipun juga rentan terhadap serangan bajak laut dan konflik. Pada masa itu, Busan berkembang sebagai kota yang dipengaruhi interaksi antarbangsa.


Masa Kolonial Jepang (1910–1945)

Era paling sulit dalam sejarah Busan terjadi saat Korea berada di bawah penjajahan Jepang (1910–1945). 

Pelabuhan Busan diperluas secara besar-besaran untuk kepentingan Jepang, baik untuk perdagangan maupun militer. 

Selain itu, Jepang juga mengeksploitasi sumber daya manusia di Busan, memaksa banyak warga setempat bekerja di pelabuhan, pabrik, maupun militer Jepang. Meski demikian, warisan pembangunan infrastruktur era kolonial inilah yang kemudian ikut mendorong pertumbuhan Busan di masa modern.


Perang Korea (1950–1953): Busan Sebagai Garis Pertahanan Terakhir

Perang Korea membawa perubahan besar HONDA138 bagi Busan. Saat pasukan Korea Utara menyerang hampir seluruh wilayah Korea Selatan, Busan menjadi salah satu dari sedikit kota yang tidak jatuh ke tangan mereka.

Pada tahun 1950, Busan menjadi pusat pemerintahan sementara Korea Selatan. Kota ini menampung lebih dari satu juta pengungsi dari seluruh negeri. Busan Perimeter, sebuah garis pertahanan militer yang dibentuk oleh pasukan PBB dan Korea Selatan, menjadi benteng terakhir melawan invasi Korea Utara.

Selama masa perang, Busan berperan vital sebagai pusat logistik, pelabuhan militer, dan tempat berkumpulnya pengungsi. Meski penuh kesulitan, kota ini berhasil bertahan dan menjadi simbol harapan bagi rakyat Korea Selatan.


Rekonstruksi dan Pertumbuhan Pasca-Perang

Namun, berkat semangat kerja keras masyarakat dan dukungan pemerintah, Busan bangkit menjadi pusat industri, perdagangan, dan pelabuhan internasional.

Pada dekade 1960–1980, Korea Selatan menjalankan kebijakan industrialisasi yang dikenal sebagai “Keajaiban Sungai Han.” Busan ikut menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Industri perkapalan, perikanan, tekstil, dan manufaktur tumbuh pesat di kota ini. Pelabuhan Busan berkembang menjadi salah satu pelabuhan kontainer tersibuk di dunia.


Busan Modern: Kota Global yang Mendunia

Memasuki era modern, Busan telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan infrastruktur maju, gaya hidup kosmopolitan, dan pengaruh global. Sejumlah pencapaian besar memperkuat posisi Busan di kancah internasional:

  1. Pariwisata dan Budaya
    Busan terkenal dengan pantainya seperti Haeundae dan Gwangalli, kuil bersejarah seperti Beomeosa, serta festival internasional seperti Busan International Film Festival (BIFF) yang menjadikannya pusat perfilman Asia.
  2. Event Internasional
    Busan menjadi tuan rumah Asian Games 2002 dan pertandingan Piala Dunia FIFA 2002. Kehadiran event-event ini semakin memperkuat citra Busan sebagai kota dunia.
  3. Pusat Pendidikan dan Teknologi
    Dengan universitas ternama seperti Pusan National University, kota ini juga menjadi pusat pendidikan dan penelitian.

Identitas dan Kebudayaan Busan

Meskipun modern, Busan tetap menjaga identitas tradisionalnya. Dialek Busan (satoori) terkenal di seluruh Korea Selatan dan sering digunakan dalam drama serta film untuk menggambarkan karakter yang kuat atau berani.

Masyarakat Busan juga dikenal ramah dan pekerja keras. Kehidupan sehari-hari mereka banyak dipengaruhi laut, dari kuliner berbasis hasil laut seperti hoe (sashimi Korea) hingga festival nelayan.


Kesimpulan

Busan merupakan kota dengan sejarah panjang yang mencerminkan perjalanan bangsa Korea dari masa lalu hingga era modern. Berawal dari sebuah pelabuhan kecil pada masa Kerajaan Silla, Busan berkembang menjadi gerbang penting perdagangan internasional di Asia Timur. Letaknya yang strategis di pesisir tenggara menjadikan kota ini sebagai titik diplomasi dan jalur interaksi budaya, terutama dengan Jepang dan Tiongkok.

Memasuki masa kolonial Jepang, Busan dipaksa menjadi pintu masuk utama kekuasaan kolonial. Infrastruktur besar-besaran dibangun, tetapi masyarakatnya mengalami eksploitasi. Sejarah kelam ini tidak mematahkan semangat warga Busan, yang kemudian bangkit pasca-perang. Peran penting Busan semakin terlihat saat Perang Korea (1950–1953), ketika kota ini menjadi benteng terakhir Korea Selatan dan pusat pemerintahan sementara. Pada masa itu, Busan menampung jutaan pengungsi sekaligus menjadi simbol harapan bangsa.

Setelah perang, Busan berkembang pesat melalui industrialisasi. Kini, Busan tidak hanya dikenal sebagai pusat perdagangan dan pelabuhan internasional, tetapi juga destinasi wisata, budaya, pendidikan, dan event global. Festival film, pantai terkenal, hingga warisan sejarah menjadikan kota ini kombinasi harmonis antara modernitas dan tradisi.

Busan adalah contoh nyata kota yang lahir dari tantangan besar, namun terus tumbuh menjadi simbol kekuatan dan identitas bangsa. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *