Sejarah Kota Yogyakarta: Dari Mataram Islam Hingga Kota Budaya

Pendahuluan

Yogyakarta, atau sering disebut Jogja, merupakan salah satu kota paling bersejarah di Indonesia. Dikenal sebagai Kota Pelajar, Kota Budaya, dan bahkan Kota Gudeg, Yogyakarta memiliki jejak panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Kota ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan suatu waktu, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai budaya Jawa yang lestari hingga hari ini.

Sejarah Yogyakarta sangat erat kaitannya dengan peradaban Kerajaan Mataram Islam, perjuangan kemerdekaan Indonesia, hingga status istimewanya sebagai daerah dengan otonomi khusus. Artikel ini akan mengupas tuntas sejarah panjang Kota Yogyakarta, mulai dari zaman kerajaan hingga era modern.


1. Awal Mula: Kerajaan Mataram Islam

Asal usul Kota Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16. Kerajaan ini pertama kali berpusat di Kota Gede, yang saat ini menjadi bagian dari wilayah Yogyakarta modern. Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati, seorang tokoh karismatik yang berasal dari keturunan penguasa Pajang.

Mataram Islam berkembang pesat di bawah kepemimpinan Sultan Agung (1613–1645), yang dikenal sebagai raja besar yang tidak hanya memperluas wilayah kekuasaan tetapi juga menentang penjajahan VOC di Batavia. Sultan Agung memindahkan pusat pemerintahan ke Kerta dan kemudian ke Pleret, tidak jauh dari Kota Gede.

Namun, setelah wafatnya Sultan Agung, Mataram mengalami konflik internal, terutama perebutan kekuasaan antar anggota keluarga kerajaan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC (Belanda), yang mulai ikut campur dalam urusan internal kerajaan.


2. Perjanjian Giyanti: Lahirnya Kasultanan Yogyakarta

Puncak intervensi Belanda terjadi pada 13 Februari 1755 melalui Perjanjian Giyanti. Dalam perjanjian ini, wilayah Mataram Islam dibagi dua:

  • Kesultanan Yogyakarta, yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I)
  • Kasunanan Surakarta, yang dipimpin oleh Pakubuwono III

Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai tokoh yang menentang dominasi VOC. Sebagai bagian dari penyelesaian konflik, ia diberi wilayah Yogyakarta dan kemudian membangun Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1756.

Inilah yang menjadi awal berdirinya Kota Yogyakarta secara resmi sebagai pusat pemerintahan baru, dengan Sultan Hamengkubuwono I sebagai raja pertamanya.


3. Masa Kolonial Belanda dan Jepang

Selama masa kolonial Belanda, Yogyakarta tetap menjadi daerah yang relatif mandiri di bawah sistem pemerintahan kerajaan. Meski demikian, Belanda tetap berupaya mengendalikan kekuasaan dengan cara halus, seperti pengawasan dan campur tangan dalam urusan kraton.

Yogyakarta tetap menjadi pusat budaya Jawa yang kuat. Banyak seniman dan budayawan berkembang di bawah naungan Kraton. Selain itu, pendidikan mulai berkembang, terutama pada awal abad ke-20, dengan berdirinya HONDA138 sekolah-sekolah pribumi.

Saat pendudukan Jepang (1942–1945), wilayah Yogyakarta berada di bawah kontrol militer Jepang. Pemerintah Jepang tetap mempertahankan struktur kerajaan, tetapi lebih fokus mengeksploitasi sumber daya lokal.


4. Peran Yogyakarta dalam Kemerdekaan Indonesia

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Yogyakarta memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga eksistensi Republik Indonesia. Pada saat Belanda melakukan agresi militer dan menduduki Jakarta, pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta pada tahun 1946.

Yogyakarta kemudian menjadi ibu kota Republik Indonesia dari Januari 1946 hingga Desember 1949. Dalam periode ini, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan secara tegas dukungannya kepada Republik Indonesia.

Sultan HB IX bahkan menyumbangkan sebagian besar kekayaan pribadinya untuk membiayai pemerintahan Republik yang sedang berjuang. Pengabdian dan loyalitas inilah yang membuat Yogyakarta menjadi pusat penting dalam perjuangan kemerdekaan.


5. Status Daerah Istimewa Yogyakarta

Sebagai penghargaan atas jasa besar Kraton Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan, pemerintah Indonesia memberikan status khusus kepada wilayah ini. Pada tahun 1950, Yogyakarta resmi menjadi “Daerah Istimewa” dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Keistimewaan ini meliputi:

  • Sultan Yogyakarta menjabat sebagai Gubernur
  • Adipati Paku Alam menjabat sebagai Wakil Gubernur
  • Tata kelola pemerintahan berbasis tradisi monarki konstitusional

Status ini ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Keistimewaan DIY Nomor 13 Tahun 2012, yang mengakui kedudukan istimewa DIY dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.


6. Perkembangan Yogyakarta Modern

Yogyakarta terus tumbuh dan berkembang menjadi kota penting dalam berbagai bidang. Berikut beberapa perkembangan signifikan:

a. Kota Pelajar

Yogyakarta dikenal sebagai “Kota Pelajar” karena menjadi rumah bagi sejumlah perguruan tinggi ternama seperti:

  • Universitas Gadjah Mada (UGM)
  • Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
  • Universitas Islam Indonesia (UII)
  • UIN Sunan Kalijaga

Ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia datang ke Yogyakarta setiap tahun untuk menimba ilmu.

b. Kota Budaya

Kraton Yogyakarta masih menjadi pusat budaya Jawa yang hidup hingga kini. Tradisi seperti Grebeg, Sekaten, Wayang Kulit, Tari Srimpi, serta musik gamelan tetap dilestarikan.

Banyak seniman besar lahir dari Yogyakarta, menjadikannya salah satu pusat seni dan budaya paling aktif di Indonesia.

c. Kota Wisata

Yogyakarta juga berkembang sebagai destinasi wisata unggulan dengan objek wisata seperti:

  • Candi Prambanan
  • Jalan Malioboro
  • Keraton Yogyakarta
  • Taman Sari
  • Gunung Merapi
  • Pantai Parangtritis

Industri pariwisata berkontribusi besar terhadap ekonomi lokal dan membawa Yogyakarta ke panggung internasional.


Penutup

Sejarah Kota Yogyakarta merupakan cerminan dari semangat perlawanan, keluhuran budaya, dan komitmen terhadap kemerdekaan. Dari pusat kerajaan Mataram Islam hingga menjadi Ibu Kota Negara, dari benteng pertahanan budaya hingga menjadi kota pelajar dan pariwisata, Yogyakarta terus memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Dengan perpaduan antara masa lalu dan masa kini yang harmonis, Yogyakarta bukan hanya kota yang indah untuk dikunjungi, tetapi juga tempat untuk merenungi nilai-nilai sejarah dan budaya yang membentuk identitas bangsa. Tak heran jika banyak orang berkata, “Yogyakarta itu bukan sekadar tempat, tapi perasaan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *