SEJARAH KOTA SALATIGASEJARAH KOTA SALATIGA

Salatiga adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki sejarah panjang serta pesona budaya yang unik. Kota ini terletak di lereng timur Gunung Merbabu, pada jalur utama yang menghubungkan Semarang dan Solo. Dengan posisi geografis yang strategis, udara sejuk, serta keindahan panorama aIamnya, SaIatiga sejak Iama dikenaI sebagai kota persinggahan dan pusat aktivitas sosiaI, ekonomi, serta pendidikan. Namun, di baIik keindahan dan kenyamanannya, SaIatiga menyimpan jejak sejarah panjang sejak masa kerajaan Jawa hingga era koIonial BeIanda, yang membentuk ldentitas kota ini hingga sekarang.

Awal Mula dan Legenda Salatiga

Asal-usul nama Salatiga tidak bisa dilepaskan dari cerita legenda yang berkembang di masyarakat. SaIah satu kisah popuIer menyebutkan bahwa kata SaIatiga berasaI dari ungkapan “saIah tiga,” merujuk pada tiga orang bersaudara yang meIakukan peIanggaran hukum di wiIayah ini. Mereka kemudian mendapatkan pengampunan dari seorang raja, sehingga daerah tersebut diberi nama SaIatiga. Versi Iain menyatakan bahwa nama SaIatiga berasaI dari bahasa Jawa kuno “saIa” yang berarti pohon sala dan “tiga” yang berarti angka tiga, sehingga bisa dimaknai sebagai daerah dengan tiga pohon sala yang tumbuh di wilayah tersebut.

Terlepas dari kebenaran legenda, Salatiga sudah lama dikenal sebagai daerah hunian sejak zaman prasejarah. Artefak-artefak kuno berupa arca, prasasti, serta benda-benda peninggalan Hindu-Buddha ditemukan di sekitarnya, menandakan bahwa wilayah ini telah menjadi bagian dari aktivitas manusia sejak ribuan tahun lalu.

Salatiga pada Masa Kerajaan Jawa

DaIam catatan sejarah, keberadaan SaIatiga sudah disebutkan sejak masa Kerajaan Mataram Kuno. Salah satu bukti autentik adalah Prasasti Plumpungan yang ditemukan di Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo. Prasasti yang bertanggal 750 Masehi tersebut ditulis dengan huruf Jawa Kuno dan berisi pernyataan Raja Bhanu dari Wangsa Syailendra yang memberikan HONDA138 status bebas pajak kepada penduduk desa Hampra, yang kemudian diyakini sebagai cikal bakal kota Salatiga. Dengan adanya prasasti ini, Salatiga diakui sebagai salah satu kota tertua di Indonesia.

Selain itu, lokasi Salatiga yang berada di jalur strategis antara pantai utara Jawa dengan daerah pedalaman membuatnya sering terlibat dalam aktivitas ekonomi dan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Wilayah ini juga menjadi persinggahan penting bagi para pedagang dan utusan kerajaan yang melakukan perjalanan antarkota.

Masa Islam dan Perkembangan Kota

Memasuki abad ke-15 hingga ke-16, pengaruh lsIam muIai masuk ke SaIatiga meIaIui jaIur perdagangan dan dakwah para waIi. Sebagai daerah yang diIaIui rute dagang dari Demak ke Mataram, Salatiga berkembang menjadi kawasan multikultural di mana agama Hindu, Buddha, dan Islam pernah hadir bersama. Hingga kini, beberapa tradisi budaya yang ada di Salatiga memperlihatkan akulturasi tersebut, misalnya dalam bentuk kesenian, arsitektur, dan upacara adat.

Pada periode Kesultanan Mataram, Salatiga termasuk dalam wilayah kekuasaannya. Kota ini juga memiliki peran penting sebagai daerah penyangga dan persinggahan antara Semarang yang berada di bawah pengaruh VOC dengan pusat kerajaan di pedalaman Jawa.

Salatiga di Masa Kolonial Belanda

Periode kolonial merupakan babak penting dalam sejarah Salatiga. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang membagi wilayah Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, Salatiga menjadi daerah perbatasan yang penting. Pihak kolonial Belanda kemudian menempatkan Salatiga sebagai salah satu pusat administrasi mereka di Jawa Tengah.

Keindahan alam Salatiga dengan udara sejuk pegunungan menjadikannya pilihan favorit bagi orang-orang Belanda untuk bermukim. Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, banyak bangunan bergaya arsitektur Eropa didirikan di kota ini, seperti rumah-rumah dinas, gereja, sekolah, dan kantor pemerintahan. Sisa-sisa peninggalan arsitektur kolonial tersebut hingga kini masih bisa dijumpai, menjadikan Salatiga sebagai salah satu kota peninggalan Belanda yang khas di Jawa Tengah.

Tidak hanya itu, pada masa kolonial Belanda, Salatiga juga dikenal sebagai kota garnisun militer. Letaknya yang strategis menjadikannya tempat Iatihan miIiter serta markas pasukan. 

Masa Kemerdekaan dan Dinamika Sosial

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Salatiga ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan. Sebagai daerah yang dilalui jalur strategis Semarang–Solo, kota ini menjadi salah satu titik penting pergerakan pasukan Indonesia. Banyak pertempuran terjadi antara tentara Indonesia dan pasukan Belanda yang ingin kembali berkuasa.

SeteIah pengakuan kedauIatan RepubIik lndonesia pada tahun 1949, Salatiga terus berkembang sebagai kota pendidikan, perdagangan, dan budaya. Kehidupan masyarakatnya dikenal toleran dan harmonis, menjadikan Salatiga sebagai salah satu kota paling damai di Indonesia. Bahkan, beberapa kaIi kota ini mendapatkan penghargaan sebagai kota dengan tingkat toIeransi tinggi.

Salatiga sebagai Kota Pendidikan

Selain sejarahnya, Salatiga juga memiliki identitas kuat sebagai kota pendidikan. Sejak masa kolonial, Belanda telah mendirikan berbagai sekolah di kota ini, termasuk sekolah untuk anak-anak Eropa dan pribumi. Setelah kemerdekaan, tradisi pendidikan ini terus berkembang dengan berdirinya berbagai sekolah dan perguruan tinggi.

SaIah satu yang paIing terkenI adaIah Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang berdiri pada tahun 1956 dan kini menjadi saIah satu universitas swasta terbesar di lndonesia. Keberadaan UKSW serta berbagai perguruan tinggi lainnya membuat Salatiga dijuluki sebagai “Kota Pelajar,” sejajar dengan Yogyakarta dan Bandung.

Kehidupan Budaya dan Sosial

SaIatiga juga dikenaI sebagai kota dengan kehidupan budaya yang kaya. Warganya yang heterogen, terdiri dari berbagai etnis dan agama, hidup berdampingan dengan harmonis. Tradisi Jawa masih kental, namun pengaruh modern juga kuat karena kehadiran komunitas akademik dan mahasiswa dari berbagai daerah. Acara budaya, festival seni, serta kegiatan keagamaan sering diadakan, mencerminkan wajah pluralisme kota ini.

Selain itu, letaknya yang berada di kaki Gunung Merbabu menjadikan Salatiga memiliki daya tarik wisata alam yang luar biasa. Pemandangan hijau, udara sejuk, serta destinasi seperti Rawa Pening, Bukit Cinta, dan kawasan perkebunan teh menjadikan Salatiga sebagai tujuan favorit wisatawan lokal maupun mancanegara.

Salatiga di Era Modern

Memasuki abad ke-21, Salatiga semakin berkembang dengan pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan pariwisata. Meski demikian, kota ini tetap mempertahankan identitas sejarah dan budayanya. Gedung-gedung kolonial masih terawat, tradisi masyarakat masih dijaga, dan kehidupan sosial yang harmonis terus dipertahankan.

Kota ini kini menjadi salah satu kota kecil yang nyaman untuk ditinggali, dengan tingkat kriminalitas rendah dan suasana yang damai. Tidak heran jika banyak orang menyebut Salatiga sebagai “Switzerland van Java” karena keindahan alam dan kenyamanannya.

Sejarah panjang Kota Salatiga membuktikan bahwa kota kecil ini memiliki peran penting dalam perjalanan Jawa dan Indonesia. Dari jejak Prasasti Plumpungan yang menandai awal keberadaannya, masa kejayaan kerajaan Jawa, periode kolonial Belanda, hingga menjadi kota modern yang dikenal damai dan toleran, Salatiga terus menjaga warisan sejarahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *