Di sebuah sudut tenang Kepulauan Riau, tersembunyi sebuah kota kecil yang menjadi saksi bisu kejayaan Kesultanan Melayu di masa lampau. Kota ini adalah Daik, yang terletak di Pulau Lingga, dan menjadi ibu kota dari Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Meskipun kini jauh dari hiruk pikuk kota besar, Daik menyimpan sejarah panjang sebagai pusat politik, budaya, dan agama Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, sebuah kekuatan maritim yang pernah menguasai sebagian besar kawasan Nusantara bagian barat.

Nama Daik mungkin terdengar sederhana, namun di kalangan pemerhati sejarah Melayu, Daik adalah simbol kejayaan, tempat lahirnya sastrawan ulung, dan wilayah strategis dalam perimbangan kekuasaan antara kerajaan Melayu dan kolonial Eropa.
Awal Mula: Pemindahan Pusat Kesultanan
Sejarah Daik sebagai pusat pemerintahan bermula pada tahun 1787. Ketika itu, Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang menghadapi tekanan politik dari Belanda dan Inggris, serta konflik internal dalam istana. Demi menghindari dominasi kolonial yang semakin kuat di Tanjungpinang dan wilayah pesisir, Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaan dari Pulau Penyengat ke Pulau Lingga, tepatnya di Daik.
Langkah ini bukan hanya strategis secara geografis, karena Lingga lebih jauh dari jangkauan langsung pengaruh Eropa, tetapi juga simbolik: Daik diposisikan sebagai jantung budaya Melayu yang lebih murni, jauh dari pengaruh asing.
Sejak saat itu, Daik berkembang sebagai ibu kota kesultanan. Kota ini pun mulai ramai oleh para ulama, pujangga, dan saudagar yang menetap di sana, menjadikannya pusat peradaban Melayu yang baru.
Pusat Sastra dan Kebudayaan Melayu
Daik bukan sekadar pusat kekuasaan. Ia juga berkembang menjadi pusat kebudayaan Melayu yang sangat penting. Di sini, sastra klasik Melayu mengalami masa keemasan. Banyak karya besar sastra Melayu ditulis atau disalin di Daik oleh para sastrawan istana.
Salah satu nama besar yang tak bisa dilepaskan dari sejarah sastra Daik adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga, sejarawan, dan ulama besar. Meski lahir di Pulau Penyengat, Raja Ali Haji banyak menulis dan berkarya di lingkungan Kesultanan Lingga. Karyanya yang paling terkenal, “Gurindam Dua Belas”, menjadi salah satu tonggak utama dalam sastra Melayu klasik dan bahkan dijadikan referensi moral dan pendidikan hingga kini.
Pemikiran dan karyanya lahir dari lingkungan intelektual yang tumbuh di Daik dan sekitarnya, menunjukkan betapa pentingnya kota ini dalam pembentukan identitas bangsa.
Jejak Arsitektur dan Warisan Sejarah
Sisa-sisa kejayaan Kesultanan Lingga masih bisa ditemukan di Daik hingga saat ini. Meskipun banyak bangunan istana dan struktur pemerintahan sudah hancur dimakan waktu atau tak terurus setelah penghapusan sistem kesultanan, beberapa situs sejarah masih dapat dikunjungi dan menjadi saksi bisu peradaban masa lampau.
Salah satu situs yang paling terkenal adalah Istana Damnah, yang dulunya merupakan kompleks utama kesultanan. Meskipun yang tersisa kini hanya fondasi dan reruntuhan, aura kebesaran masa lalu masih terasa kuat. Di sekitarnya juga terdapat Masjid Sultan Lingga yang masih berdiri kokoh dan digunakan hingga sekarang.
Tak jauh dari masjid terdapat makam para sultan dan bangsawan, termasuk makam Sultan Mahmud Syah III dan beberapa penerusnya. Lokasi ini tidak hanya menjadi tempat ziarah, tetapi juga pusat napak tilas sejarah politik dan spiritualitas kerajaan Melayu.
Peran Strategis dalam Sejarah Regional
Daik bukan hanya penting dalam konteks budaya dan sastra, tetapi juga memiliki peran strategis dalam sejarah politik kawasan. Sebagai bagian dari Kesultanan Johor-Riau-Lingga-Pahang, wilayah ini memainkan peran penting dalam perebutan kekuasaan antara kerajaan-kerajaan Melayu dan kekuatan kolonial seperti Portugis, Belanda, dan Inggris.
Kesultanan ini semula merupakan satu entitas besar yang meliputi HONDA138 sebagian besar Semenanjung Malaya dan kepulauan Riau. Namun, dengan semakin kuatnya pengaruh kolonial dan perjanjian-perjanjian internasional seperti Traktat London 1824, wilayah kekuasaan kesultanan pun terpecah.Pemisahan ini secara drastis melemahkan kesultanan dan menempatkan Daik sebagai benteng terakhir kekuasaan kerajaan Melayu di wilayah selatan Selat Malaka.
Sultan terakhir, Abdul Rahman Muazzam Syah, dipaksa turun takhta dan diasingkan. Dengan itu, berakhir pula masa kejayaan Daik sebagai pusat pemerintahan. Namun, memori sejarahnya tetap hidup dan terus diperjuangkan untuk dilestarikan.
Daik dalam Ingatan dan Identitas Melayu
Bagi masyarakat Melayu, terutama di wilayah Riau dan Kepulauan Riau, Daik bukan sekadar kota kecil di pulau terpencil.Banyak pantun dan gurindam yang menyebut nama Daik sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah panjang yang dimilikinya.
Ungkapan terkenal dalam budaya Melayu berbunyi:
“Pergi ke Daik memetik jambu,
Daik sekarang bukan dahulu.
Istana roboh tiada bersatu,
Tinggal sejarah tempat bertamu.”
Pantun ini menyiratkan kesedihan atas runtuhnya kejayaan, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa sejarah Daik tak akan hilang. Warisan budayanya tetap hidup dalam bahasa, sastra, adat, dan tradisi masyarakat Melayu.
Masa Kini: Menjaga Warisan, Membangun Kembali
Saat ini, Pemerintah Kabupaten Lingga tengah berupaya mengangkat kembali nilai sejarah dan pariwisata kota Daik. Restorasi situs sejarah, pembangunan museum budaya, serta pengembangan literasi sejarah menjadi langkah penting dalam menghidupkan kembali kejayaan masa lalu.
Daik memang tidak tumbuh menjadi kota besar, namun nilainya justru terletak pada kekayaan budayanya. Di tengah arus modernisasi, Daik tetap berdiri sebagai pusat refleksi sejarah Melayu yang autentik. Ia menjadi tujuan para peneliti, wisatawan sejarah, hingga para keturunan bangsawan yang ingin menapak jejak leluhur mereka.
Ini menunjukkan bahwa meski pernah “dibungkam” oleh sejarah kolonial, suara Daik sebagai pusat kebudayaan tidak pernah benar-benar hilang.
Penutup: Daik, Warisan yang Tak Lekang oleh Zaman
Daik bukan hanya cerita masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus berdenyut dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Melayu. Dari benteng sejarahnya, kita belajar bahwa kota kecil bisa memiliki pengaruh besar dalam membentuk peradaban. Daik mengajarkan tentang pentingnya menjaga warisan, memahami asal-usul, dan merawat kebanggaan terhadap jati diri budaya sendiri.
Di antara reruntuhan istana, di balik pantun-pantun lama, dan dalam bisik angin yang berhembus di perbukitan Pulau Lingga, sejarah Daik terus bergema—mengajak siapa pun yang datang untuk merenung, belajar, dan menghargai akar sejarah bangsa.