Pendahuluan
Beijing, ibu kota Republik Rakyat Tiongkok, merupakan salah satu kota tertua sekaligus terpenting di Asia. Dengan sejarah lebih dari 3.000 tahun, kota ini telah menjadi pusat politik, budaya, dan ekonomi dalam berbagai periode dinasti. Dari sebuah permukiman kuno di dataran subur Tiongkok utara, Beijing tumbuh menjadi jantung pemerintahan kekaisaran, lalu bertransformasi menjadi pusat modernisasi global. Sejarah panjangnya mencerminkan perjalanan bangsa Tiongkok itu sendiri—penuh gejolak, kejayaan, konflik, dan kebangkitan.

Awal Mula dan Dinasti Awal
Saat itu, wilayah ini dikenal sebagai Ji, sebuah kota kecil yang berfungsi sebagai pusat administrasi lokal. Letaknya yang strategis di dataran Sungai Kuning menjadikan Ji penting dalam jalur perdagangan dan pertahanan.
Pada masa Periode Negara-Negara Berperang (475–221 SM), wilayah Beijing menjadi perebutan antar kerajaan, terutama Yan. Kota Ji menjadi ibu kota negara Yan, yang menandai awal peran politiknya di tingkat nasional.
Ketika Dinasti Qin menyatukan Tiongkok pada 221 SM, kota ini kehilangan status ibu kota, namun tetap dipertahankan sebagai pos militer karena dekat dengan wilayah perbatasan utara. Peran strategis ini terus berlanjut pada masa Dinasti Han, ketika Beijing berfungsi sebagai benteng melawan invasi bangsa nomaden dari padang rumput Mongolia.
Beijing dalam Dinasti Tang dan Liao
Setelah runtuhnya Tang, Beijing dikuasai oleh berbagai kekuatan. Pada masa Dinasti Liao (907–1125) yang didirikan bangsa Khitan, kota ini dijadikan salah satu dari lima ibu kota dengan nama Nanjing (Ibu Kota Selatan). Posisi ini menunjukkan pentingnya Beijing sebagai pusat administrasi dan simbol legitimasi kekuasaan.
Masa Kejayaan Dinasti Jin dan Yuan
Pada periode ini, pembangunan besar-besaran HONDA138 dilakukan, termasuk perluasan kota dan pembangunan istana megah. Namun, Zhongdu hancur pada awal abad ke-13 akibat serangan bangsa Mongol di bawah kepemimpinan Jenghis Khan.
Bangsa Mongol kemudian mendirikan Dinasti Yuan (1271–1368) dan membangun ibu kota baru bernama Dadu di lokasi Beijing modern. Di bawah pemerintahan Kublai Khan, cucu Jenghis Khan, Dadu menjadi pusat politik dunia dengan tata kota megah yang dirancang oleh arsitek dari berbagai negeri. Kota ini juga terkenal dalam catatan penjelajah seperti Marco Polo, yang menggambarkan kemegahan Dadu sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masanya.
Beijing di Bawah Dinasti Ming
Ketika Dinasti Ming menggulingkan Yuan pada 1368, ibu kota dipindahkan ke Nanjing. Namun, pada masa Kaisar Yongle (berkuasa 1402–1424), ibu kota dikembalikan ke Beijing pada tahun 1421. Langkah ini menandai titik balik penting yang mengukuhkan Beijing sebagai pusat pemerintahan kekaisaran hingga abad ke-20.
Pada masa Ming, banyak bangunan monumental didirikan. Kota Terlarang (Forbidden City) dibangun sebagai pusat kekuasaan kaisar, sementara Tembok Kota Beijing diperkuat. Selain itu, jaringan jalan dan kanal dibangun untuk menghubungkan Beijing dengan wilayah lain. Arsitektur Beijing dari masa Ming inilah yang kemudian menjadi ikon sejarah dan budaya Tiongkok.
Dinasti Qing dan Transformasi Kota
Pada 1644, pasukan Manchu berhasil merebut Beijing dan mendirikan Dinasti Qing, yang menjadikannya ibu kota baru. Kota ini terus berkembang, dengan penambahan taman kekaisaran, kuil-kuil megah, dan kompleks istana.
Namun, pada abad ke-19, Beijing menghadapi masa-masa sulit. Perang Candu, pemberontakan internal, dan intervensi asing melemahkan Dinasti Qing. Tahun 1860, pasukan gabungan Inggris dan Prancis menyerbu Beijing dan membakar Istana Musim Panas Lama (Old Summer Palace), meninggalkan luka sejarah yang mendalam.
Meski demikian, Beijing tetap menjadi pusat politik hingga akhir Dinasti Qing pada 1911, ketika sistem kekaisaran digantikan oleh Republik Tiongkok.
Era Republik dan Pendudukan Jepang
Beijing pun diganti namanya menjadi Beiping, yang berarti “Kedamaian Utara.”
Namun, statusnya sebagai kota penting tetap bertahan. Pada 1937, selama Perang Tiongkok-Jepang, Beijing jatuh ke tangan Jepang dan menjadi basis administrasi militer mereka hingga berakhirnya Perang Dunia II pada 1945.
Beijing dalam Republik Rakyat Tiongkok
Kemenangan Partai Komunis Tiongkok pada 1949 membawa perubahan besar. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok di Lapangan Tiananmen, menjadikan Beijing sebagai ibu kota baru. Nama Beiping pun dikembalikan menjadi Beijing.
Sejak saat itu, Beijing berkembang pesat sebagai pusat politik, ekonomi, dan budaya. Banyak pembangunan infrastruktur dilakukan, termasuk universitas, museum, jalan raya, serta kawasan industri.
Modernisasi dan Beijing Masa Kini
Pada era reformasi ekonomi yang dimulai Deng Xiaoping tahun 1978, Beijing mengalami modernisasi besar-besaran.
Beijing juga menjadi tuan rumah berbagai acara internasional, seperti Olimpiade 2008 yang menampilkan ikon arsitektur modern seperti Stadion Sarang Burung dan Water Cube. Keberhasilan ini semakin mengukuhkan posisi Beijing sebagai kota global.
Di sisi lain, kota ini tetap mempertahankan warisan sejarahnya. Kota Terlarang, Taman Musim Panas, Kuil Surga, dan Hutong-hutong kuno tetap menjadi simbol kejayaan masa lalu yang dipadukan dengan wajah modern kota.
Kesimpulan
Sejarah Beijing adalah cerminan perjalanan panjang bangsa Tiongkok: dari pusat kerajaan kuno, ibu kota dinasti besar, kota kolonial yang terjajah, hingga pusat modernisasi dan kekuatan global. Kota ini bukan hanya menyimpan situs bersejarah, tetapi juga menjadi pusat perkembangan politik, ekonomi, dan budaya yang terus memengaruhi dunia.
Dengan warisan berharga dari masa lalu dan visi masa depan yang ambisius, Beijing akan terus berdiri sebagai kota penting di Asia maupun dunia, menyatukan tradisi dengan modernitas dalam satu harmoni.