Sejarah Kota Bima
Kota Bima, yang terletak di pesisir timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, memiliki sejarah panjang yang kaya akan peristiwa, budaya, dan peradaban. Karena berada di sepanjang Selat Sape, Bima sejak dulu dikenal sebagai pusat perdagangan dan jalur transit pelayaran di Nusa Tenggara. Sejarah Kota Bima tidak bisa dipisahkan dari sejarah Kesultanan Bima, yang menjadi cikal bakal perkembangan kota ini hingga menjadi pusat pemerintahan dan budaya yang dikenal saat ini.

Awal Mula dan Perkembangan Kesultanan Bima
Sejarah Bima bermula ketika Kesultanan Bima mulai terbentuk pada abad ke-17. Berdasarkan sumber sejarah lokal dan catatan Portugis serta Belanda, Kesultanan Bima dipimpin oleh raja-raja lokal yang dikenal dengan gelar “Sultan”. Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal Bima adalah Sultan Abdul Kahir, yang memimpin pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Masa pemerintahannya menandai konsolidasi kekuasaan kesultanan, serta pembentukan sistem pemerintahan dan pembagian wilayah yang lebih tertata.
Kesultanan Bima berkembang pesat karena letaknya yang strategis. Posisi kota di pesisir timur Sumbawa membuatnya menjadi penghubung perdagangan antara Pulau Flores, Pulau Sumba, dan pulau-pulau di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Barat. Komoditas yang diperdagangkan meliputi rempah-rempah, kain, hasil laut, dan ternak. Aktivitas perdagangan ini tidak hanya menarik pedagang lokal, tetapi juga pedagang asing, termasuk Portugis, Belanda, dan Arab, yang mempengaruhi budaya, bahasa, dan sistem sosial di Bima.
Pengaruh Agama dan Budaya
Seiring perkembangan Kesultanan Bima, Islam menjadi agama dominan yang dibawa melalui jalur perdagangan dan dakwah para ulama. Sultan pertama yang memeluk Islam, Sultan Abdul Kahir, menjadi tokoh sentral dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah Bima. Masjid-masjid dibangun sebagai pusat ibadah sekaligus pusat pendidikan agama. Salah satu masjid tertua di Bima, Masjid Sultan Salahuddin, masih berdiri kokoh hingga kini sebagai bukti sejarah peradaban Islam di kota ini.
Pengaruh budaya Arab dan Bugis terlihat dalam arsitektur rumah adat, pakaian, dan tata kelola pemerintahan Kesultanan Bima. Pakaian tradisional, seperti sarung tenun khas Bima, menjadi simbol identitas masyarakat yang memadukan elemen lokal dan pengaruh luar. Adat-istiadat seperti upacara pernikahan, sunatan, dan ritual adat lainnya tetap dijaga, meskipun mengalami modernisasi.
Kolonialisme Belanda dan Perubahan Administratif
Pada abad ke-19, Kesultanan Bima masuk dalam pengaruh kolonial Belanda. Belanda menandatangani perjanjian politik dengan Sultan Bima yang memungkinkan mereka mengontrol perdagangan dan pajak, tetapi tetap mempertahankan Sultan sebagai pemimpin adat. Pada masa ini, sistem pemerintahan tradisional mulai dipengaruhi oleh sistem kolonial. Beberapa struktur administrasi diperkenalkan, seperti pengumpulan pajak, pencatatan penduduk, dan pembangunan infrastruktur.
Kehadiran Belanda membawa dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Di satu sisi, infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan fasilitas perdagangan berkembang, tetapi di sisi lain, masyarakat mengalami tekanan ekonomi karena pajak dan regulasi perdagangan yang ketat. Interaksi dengan pedagang dan pejabat Belanda juga memperkaya kosakata lokal, sistem hukum, dan cara berorganisasi masyarakat.
Masa Kemerdekaan dan Transformasi Kota
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Bima menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peralihan dari pemerintahan kesultanan ke pemerintahan modern memerlukan proses adaptasi yang cukup panjang. Sultan Bima masih memegang pengaruh dalam ranah adat, tetapi urusan administratif dan pemerintahan berada di tangan pemerintah daerah.
Kota Bima secara resmi menjadi entitas administratif tersendiri pada 2002, berpisah dari Kabupaten Bima. Pemekaran ini bertujuan untuk mempercepat pembangunan kota dan memberikan layanan publik yang lebih efektif bagi masyarakat. Sejak saat itu, Bima mengalami perkembangan pesat dalam bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi. Kota ini menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan budaya bagi wilayah timur Pulau Sumbawa.
Perkembangan Sosial dan Budaya Kontemporer
Budaya Bima terus berkembang tanpa meninggalkan akar tradisi. Masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai HONDA138 kekeluargaan, gotong royong, dan adat istiadat. Perayaan adat seperti “Tradisi Hadu” dan upacara pernikahan masih dilaksanakan dengan kearifan lokal yang kuat. Selain itu, masyarakat juga menyesuaikan diri dengan modernisasi, misalnya melalui pendidikan formal, media sosial, dan kegiatan ekonomi berbasis teknologi.
Kota Bima kini memiliki beragam sekolah dan perguruan tinggi yang berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sementara dalam bidang ekonomi, sektor perdagangan, pariwisata, dan usaha kecil menengah menjadi tulang punggung pertumbuhan kota. Kegiatan festival budaya dan pariwisata laut di Bima kini kian menarik minat wisatawan lokal maupun internasional.
Warisan Sejarah dan Identitas Kota Bima
Sejarah panjang Bima menjadikannya kota dengan identitas yang unik. Perpaduan antara pengaruh Kesultanan Bima, Islam, budaya lokal, dan kolonialisme Belanda menciptakan karakter masyarakat yang ramah, religius, dan menghargai tradisi. Bangunan-bangunan bersejarah, masjid kuno, rumah adat, dan peninggalan kerajaan masih dapat ditemui sebagai saksi sejarah.
Selain itu, Kota Bima menjadi simbol harmonisasi antara tradisi dan modernitas. Meskipun modernisasi membawa perubahan, masyarakat tetap menjaga adat istiadat, seni, dan budaya sebagai bagian penting dari identitas mereka. Kota Bima bukan hanya pusat pemerintahan, tetapi juga pusat budaya yang memelihara nilai-nilai leluhur sekaligus menghadapi tantangan perkembangan zaman.
Kesimpulan
Dari Kesultanan Bima yang menguasai perdagangan dan budaya lokal, melalui pengaruh kolonial Belanda, hingga menjadi bagian integral Indonesia pasca-kemerdekaan, Bima menunjukkan ketahanan sosial, budaya, dan politik. Masyarakat Bima berhasil mempertahankan tradisi sambil menerima modernisasi, menjadikannya kota yang kaya akan sejarah, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sejarah ini bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi juga fondasi bagi pembangunan masa depan Kota Bima, di mana identitas, budaya, dan sejarahnya menjadi sumber inspirasi bagi generasi mendatang. Dengan warisan yang kuat dan semangat adaptasi yang tinggi, Kota Bima terus melangkah menuju kemajuan tanpa kehilangan jati dirinya.