Sejarah Kota Makassar: Dari Kerajaan Maritim ke Kota Metropolitan

Pendahuluan

Kota Makassar, yang terletak di pesisir barat daya Pulau Sulawesi, merupakan salah satu kota tertua dan paling bersejarah di Indonesia. Dahulu dikenal dengan nama Ujung Pandang, kota ini tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan, tetapi juga telah memainkan peran penting dalam sejarah politik, ekonomi, dan budaya Nusantara, terutama sebagai pusat perdagangan dan kekuatan maritim di wilayah timur Indonesia.

Asal-Usul dan Nama Makassar

Makassar berasal dari kata “mangkasarak” atau “mangkasaraki” yang dalam bahasa setempat berarti “berani” atau “bersikap tegas”. Nama ini mencerminkan karakter masyarakatnya yang dikenal sebagai pelaut ulung dan pemberani. Dalam perkembangannya, nama ini kemudian dikenal luas sebagai Makassar.

Sebelum menjadi kota modern seperti sekarang, wilayah Makassar telah dihuni oleh komunitas-komunitas lokal yang kemudian membentuk kerajaan-kerajaan kecil. Dua kerajaan utama yang berperan besar dalam sejarah awal Makassar adalah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo.

Kerajaan Gowa-Tallo: Cikal Bakal Kota Makassar

Pada abad ke-14, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo bersatu menjadi Kerajaan Gowa-Tallo atau sering disebut sebagai Kesultanan Makassar. Penyatuan ini terjadi melalui pernikahan politik antara bangsawan Gowa dan Tallo. Kesultanan Makassar kemudian tumbuh menjadi kerajaan maritim yang kuat, menguasai jalur perdagangan di wilayah timur Indonesia.

Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumapa’risi’ Kallonna, adalah tokoh HONDA138 penting dalam modernisasi kerajaan. Ia memperkuat struktur pemerintahan dan membangun sistem administrasi yang lebih terorganisir. Namun, masa keemasan Makassar terjadi pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653–1669), yang dikenal sebagai “Ayam Jantan dari Timur”.

Makassar sebagai Pusat Perdagangan Maritim

Letak strategis Makassar di jalur pelayaran antara Maluku, Jawa, dan Asia menjadikannya pelabuhan penting pada abad ke-16 dan ke-17. Kota ini menjadi tempat pertemuan berbagai suku bangsa, termasuk pedagang dari Arab, India, Cina, dan Eropa. Komoditas utama yang diperdagangkan adalah rempah-rempah, terutama dari Maluku.

Makassar juga terkenal karena kebijakan perdagangannya yang terbuka. Pemerintah Kesultanan Makassar memberikan kebebasan bagi pedagang asing untuk berdagang tanpa monopoli. Kebijakan ini bertentangan langsung dengan kepentingan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah secara eksklusif.

Konflik dengan VOC dan Perang Makassar

Konflik antara Kesultanan Makassar dan VOC mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-17. VOC merasa terancam oleh kebijakan perdagangan bebas Makassar yang menghambat monopoli mereka. Ketegangan ini akhirnya meletus menjadi Perang Makassar (1666–1669).

VOC, yang dipimpin oleh Laksamana Cornelis Speelman, bersekutu dengan musuh internal Kesultanan Makassar, yakni Arung Palakka, bangsawan Bugis dari Bone yang sebelumnya diusir oleh Sultan Hasanuddin. Gabungan kekuatan VOC dan Arung Palakka berhasil mengalahkan Kesultanan Makassar. Pada 18 November 1667, ditandatanganilah Perjanjian Bongaya, yang menandai kekalahan Makassar dan berakhirnya masa kejayaan Kesultanan Gowa-Tallo.

Masa Kolonial Belanda

Setelah kekalahan tersebut, Makassar secara bertahap menjadi kota penting dalam administrasi kolonial Belanda di Indonesia Timur. Belanda membangun benteng dan infrastruktur kolonial, termasuk Benteng Rotterdam, yang awalnya dibangun oleh Kerajaan Gowa dengan nama Benteng Ujung Pandang dan kemudian diambil alih serta diperluas oleh VOC.

Pada masa ini, Makassar dikenal sebagai Ujung Pandang. Nama ini digunakan secara resmi selama beberapa dekade, hingga akhirnya dikembalikan menjadi Makassar pada tahun 1999.

Selama masa kolonial, Makassar berkembang menjadi pusat pendidikan dan pemerintahan di wilayah Indonesia timur. Banyak tokoh pergerakan nasional dari Indonesia Timur yang lahir atau bersekolah di Makassar.

Masa Kemerdekaan dan Era Modern

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Makassar menjadi salah satu pusat penting di wilayah Indonesia Timur. Namun, kota ini sempat mengalami gejolak politik pada awal kemerdekaan. Salah satu peristiwa besar adalah pemberontakan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) di bawah komando Kapten Raymond Westerling, yang melakukan aksi kekerasan di Sulawesi Selatan antara tahun 1946–1947.

Setelah situasi politik stabil, Makassar berkembang pesat, terutama pada era Orde Baru. Kota ini menjadi pusat ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan di kawasan timur Indonesia. Banyak universitas ternama, rumah sakit besar, serta pelabuhan laut dan udara yang dibangun dan diperluas.

Makassar di Era Kontemporer

Saat ini, Makassar adalah kota terbesar di kawasan Indonesia Timur dengan penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa. Kota ini merupakan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata yang terus berkembang. Beberapa infrastruktur penting seperti Pelabuhan Soekarno-Hatta, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, serta kawasan industri Kawasan Industri Makassar (KIMA) memperkuat posisi strategis kota ini dalam perekonomian nasional.

Selain itu, Makassar juga dikenal sebagai kota dengan kekayaan budaya yang masih lestari. Festival budaya, kuliner khas seperti coto Makassar, konro, pallubasa, serta komunitas pelaut Bugis-Makassar, masih menjadi identitas kuat kota ini.

Warisan Sejarah

Salah satu simbol sejarah Makassar yang masih bertahan hingga kini adalah Benteng Rotterdam. Benteng ini menjadi tempat wisata sejarah sekaligus museum yang menyimpan berbagai koleksi peninggalan masa lampau. Selain itu, Masjid Raya Makassar, Pelabuhan Paotere, dan Kampung Budaya Tallo juga menjadi saksi bisu perkembangan kota ini dari masa ke masa.

Penutup

Sejarah Kota Makassar mencerminkan perjalanan panjang sebuah kota pelabuhan yang tumbuh dari kerajaan kecil menjadi kekuatan maritim besar, lalu menjadi bagian dari sistem kolonial, hingga akhirnya menjadi kota metropolitan modern. Identitas Makassar dibentuk oleh perpaduan antara kekuatan tradisi lokal dan pengaruh global yang datang silih berganti. Kota ini tidak hanya penting secara geografis, tetapi juga memiliki makna historis yang mendalam dalam narasi besar sejarah Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *