berkembang dari wilayah suatu desa bernama Desa Sala, di tepi Bengawan Solo”penambangan”) di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga “Piagam Trowulan I” (1358, dalam bahasa Inggris disebut “Ferry Charter”) sebagai “Wulayu”. Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi “Ci Wuluyu”.

Asal Usul: Perpecahan Kerajaan Mataram
Sejarah Surakarta tidak bisa dilepaskan dari Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16 dan berkembang menjadi salah satu kekuatan besar di Pulau Jawa. Pada masa kejayaannya, Mataram memiliki wilayah yang luas, tetapi mulai mengalami kemunduran pada abad ke-18 karena konflik internal dan tekanan dari pihak Belanda (VOC).
Puncak dari kemunduran ini terjadi setelah wafatnya Amangkurat IV pada tahun 1726, yang memicu perebutan kekuasaan antara para penerusnya. Perselisihan antara Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi (yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I) memuncak dalam Perang Saudara yang dikenal sebagai Perang Mangkubumi (1746–1755).
Perjanjian yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, adalah Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian ini difasilitasi oleh VOC untuk mengakhiri konflik internal di Mataram, yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwono III untuk Surakarta dan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I) untuk Yogyakarta.
Berdirinya Kasunanan Surakarta
Setelah Perjanjian Giyanti, ibu kota kerajaan dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745, dua tahun sebelum perjanjian resmi dibuat. Pemindahan ini terjadi karena keraton Kartasura dianggap sudah tidak layak secara spiritual dan politis setelah mengalami berbagai serangan dan kerusuhan.
Surakarta kemudian dibangun sebagai ibu kota baru dengan tata kota yang dirancang secara tradisional dan simbolik.
Keraton Surakarta memiliki struktur sosial dan budaya yang kental dengan nuansa feodal Jawa. Raja (Sunan) dianggap sebagai pemimpin spiritual dan duniawi, serta penjaga adat dan tradisi. Sistem pemerintahan saat itu masih bersifat tradisional, meskipun perlahan-lahan mengalami intervensi dari Belanda.
Masa Kolonial: Dominasi Belanda
Belanda melalui VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda, memiliki pengaruh besar terhadap Kasunanan Surakarta. Meski secara formal kerajaan ini tetap berdiri, kekuasaannya terbatas dan diawasi oleh pemerintah kolonial. Banyak kebijakan kerajaan harus mendapat persetujuan dari residen Belanda.
Selain itu, wilayah Surakarta terus mengalami pembagian. Pada tahun 1757, setelah konflik baru, wilayah Surakarta kembali terbagi dengan lahirnya Mangkunegaran, yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I.
Di bawah pengaruh kolonial, kota Surakarta berkembang HONDA138 menjadi pusat administrasi dan ekonomi. Berbagai infrastruktur modern mulai dibangun, seperti stasiun kereta api, sekolah-sekolah, dan pasar-pasar. Meskipun begitu, budaya Jawa tetap lestari, terutama karena peran keraton dan para bangsawan yang menjaga adat istiadat.
Kebangkitan Nasional dan Peran Surakarta
Memasuki abad ke-20, semangat kebangsaan mulai tumbuh di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Surakarta. Kota ini menjadi salah satu pusat penting dalam pergerakan nasional. Tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara, R.M. Tirtoadisurjo, dan Semaun pernah berkiprah di Surakarta.
Surakarta menjadi tempat lahirnya berbagai organisasi pergerakan seperti:
- Sarekat Islam, yang awalnya berbasis di Solo,
- Partai Komunis Indonesia (PKI) cabang Surakarta,
- Taman Siswa, sebagai lembaga pendidikan nasionalis.
Perkembangan pergerakan ini menunjukkan bahwa Surakarta tidak hanya menjadi pusat budaya, tetapi juga pusat intelektual dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Masa Kemerdekaan: Status Daerah Istimewa yang Hilang
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Surakarta sempat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa Surakarta oleh pemerintah pusat.
Surakarta mengalami konflik internal antara pihak keraton, kelompok republik, dan kekuatan kiri seperti PKI. Banyak peristiwa kekerasan terjadi, termasuk penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh keraton. Situasi ini membuat pemerintah pusat mengambil alih kontrol atas kota ini.
Pada tahun 1946, status istimewa Surakarta dicabut, berbeda dengan Yogyakarta yang tetap menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hingga kini. Sejak saat itu, Surakarta menjadi kota biasa yang berada langsung di bawah pemerintah pusat, meskipun keberadaan keraton dan Mangkunegaran tetap dipertahankan sebagai lembaga budaya.
Surakarta di Era Modern
Memasuki era Orde Baru dan Reformasi, Surakarta terus berkembang sebagai kota budaya dan pariwisata. Pemerintah kota banyak memanfaatkan warisan sejarah dan budaya sebagai daya tarik wisata, seperti:
- Keraton Surakarta
- Pura Mangkunegaran
- Pasar Klewer
- Museum Radya Pustaka
- Wayang Orang Sriwedari
Surakarta juga dikenal sebagai kota seni dan pendidikan. Selain itu, kota ini menjadi rumah bagi institusi seni ternama seperti ISI Surakarta (Institut Seni Indonesia).
Di bawah kepemimpinannya, Solo mengalami revitalisasi di berbagai sektor, termasuk transportasi, tata ruang kota, dan promosi budaya. Kepemimpinan Jokowi di Solo menjadi batu loncatan menuju karier politik nasional sebagai Gubernur DKI Jakarta dan akhirnya Presiden Republik Indonesia.
Kesimpulan
Sejarah Surakarta adalah cerminan dari dinamika politik, budaya, dan sosial di Pulau Jawa. Dari perpecahan Mataram, dominasi kolonial, kebangkitan nasional, hingga transformasi modern, Surakarta tetap memegang peran penting dalam sejarah Indonesia.
Meskipun tidak lagi berstatus istimewa secara administratif, Surakarta tetap istimewa dalam hal warisan budaya dan sejarahnya